widgets

Sabtu, 07 September 2013

Doa ringkas selepas solat 


Maksudnya:


Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 

Segala puji bagi Allah Tuhan pentadbir seluruh alam. Selawat dan sejahtera semoga dilimpahkan ke atas junjungan besar Nabi Muhammad yang semulia-mulia pesuruh-Nya, serta ke atas keluarga dan sekalian sahabat-sahabatnya. 

Ya Allah, wahai Tuhan kami, hidupkan kami dengan iman, matikan kami dalam iman, serta masukkan kami ke dalam syurga bersama-sama iman. 

Ya Allah, ya Tuhan kami, ampunilah segala dosa kesalahan kami dan dosa-dosa kesalahan kedua ibu bapa kami, serta kesihanilah kedua ibu bapa kami sebagaimana mereka berdua mengasihani kami semasa masih kecil. 

Ya Allah, akhirilah umur kami dengan kesudahan yang baik dan janganlah kiranya Engkau akhirkan umur kami dengan kesudahan yang tidak baik. 

Ya Allah, ya Tuhan kami, janganlah kiranya Engkau pesongkan iman kami sesudah Engkau kurniakan kepada kami petunjuk. Anugerahilah kami rahmat kerana sesungguhnya Engkau Maha Pengurnia. 

Wahai Tuhan kami, kurniakanlah kepada kami kebaikan di dunia ini dan juga di akhirat, dan peliharalah kami daripada azab neraka. 

Semoga Allah mencucuri rahmat dan sejahtera ke atas junjungan kami Nabi Muhammad dan ke atas seluruh keluarga dan sahabat-sahabat baginda. Dan segala puji itu tertentu bagi Allah, Tuhan pentadbir seluruh alam.
»»  READMORE...

Senin, 29 April 2013

DO.,A BERHUBUNGAN SUAMI ISTRI


Dan termasuk adab dalam berhubungan suami istri (bersenggama) adalah sebagaimana yang disabdakan Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasallam- :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ قَالَ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنِى الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا ثُمَّ رُزِقَ أَوْ قُضِىَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ

Artinya: “Ibnu Abbas berkata, Rasulullah -sholallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Apabila seseorang membaca doa berikut ini sebelum menggauli isterinya: “bismillah allahumma jannibnis syaithan wa jannibis syaithan ma razaqtana” (Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah syetan dari saya, dan jauhkanlah ia dari apa yang akan Eukau rizkikan kepada kami (anak, keturunan), kemudian dari hubungan tersebut ditakdirkan menghasilkan seorang anak, maka ia tidak akan diganggu oleh setan selamanya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun doa sebelum bercinta (bersenggama) suami istri adalah sebagai berikut :

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنِى الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“BISMILLAH ALLAHUMMA JANNIBNIS SYAITHAN WA JANNIBIS SYAITHAN MA RAZAQTANA”
Artinya : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah syetan dari saya, dan jauhkanlah ia dari apa yang akan Engkau rizkikan kepada kami (anak, keturunan).”
»»  READMORE...

Sabtu, 30 Maret 2013

PENDAHULUAN DAN IDDAH WANITA



PENDAHULUAN
Seks merupakan kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan jenisnya atau sebaliknya. Ia merupakan naluri yang kuat serta selalu menuntut untuk dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan akan seks itu hanya bisa dilakukan apabila antara laki-laki dan perempuan telah diikat oleh suatu ikatan yang sah yang disebut dengan pernikahan.
Sesungguhnya tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan biologis menusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan lain yang lebih mulia sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Manakala setelah perkawinan terjadi hubungan seks, tetapi dalam perjalanan perkawinan itu ternyata tidak berjalan dengan mulus dan terdapat berbagai halangan dan rintangan yang mengakibatkan tujuan perkawinan itu tidak bisa dicapai dan sebagai puncaknya terjadilah perceraian. Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.
Islam memberikan batasan iddah ini sebagai berikut :
1. Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid.
2. Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (menopause) = tiga bulan.
3. Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
4. Iddah wanita hamil = sampai melahirkan.
5. Tidak ada iddah bagi wanita yang belum dicampuri.
Lamanya iddah seperti tersebut diatas sebagaimana juga tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 153 ayat (2).
Dalam hukum perdata masa iddah ini disebut dengan masa tunggu, yaitu dengan lamanya :
1.  1 (satu) tahun bagi wanita yang cerai dan ingin kawin lagi dengan bekas suaminya itu, dan.
2.   300 hari bagi wanita baru diperbolehkan untuk kawin dengan laki-laki lain.

PEMBAHASAN
A. Beberapa Hadits Terkait Iddah
Banyak sekali hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan iddah. Diantaranya adalah:
I.      Iddah Wanita Hamil
عن المسورين مخرمة رضي الله عنه (انّ سبيعة الاسلمية نفست بعد وفاة زوجها بليال، فجاءت الى النبي ص.م. فاستاءذنته ان تنكح فاذن لها، فنكحت) رواه البخارى، واصله فى الصحيحين
Dari Miswar putera Makhramah: “Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra melahirkan setelah suaminya meninggal dunia beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin untuk kawin, maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
وفى لفظ (انّها وضعت بعد وفاة زوجها باربعين ليلة) وفى لفظ لمسلم قال الزهرى (ولا ارى باءسا ان تزوّج وهى فى دمها، غير انّه لا يقربها زوجها حتى تطهر)
Dan pada suatu lafadz disebutkan: “sesungguhnya Subai’ah melahirkan setelah suaminya meninggal empat puluh hari.” Dan pada suatu lafadz pada riwayat Muslim disebutkan: berkata Az Zuhri: “Aku berpendapat tidak ada halangan ia kawin dalam keadaan masih darah nifas, hanya saja suaminya jangan menyetubuhi dulu sebelum ia suci.”
II.      Iddah Wanita yang Meminta Cerai (Khulu’)
حدّثني عبادة بن الوليدبن عبادة بن الصامت عن ربيع بنت معوّذ قال قلت لها حدّثني حديثك قالت اختلعت من زوجي ثم جئت عثمان فسألته ماذا علىّ من العدّة فقال لاعدّة عليك الاّان تكون حديثة عهد به فتمكني حتى تحيضى حيضة قال وانا متّبع فى ذلك قضاء رسول الله ص.م. فى مريم المغاليّة كانت تحت ثابت بن قيس بن شمّاش فاختلعت منه
Menceritakan kepadaku Ubadah Ibnu Walid Ibnu Shamit bertanya pada Rubayyi’ binti Mu’awidz: “ceritakan kisahmu padaku”. Ia berkata: “aku telah meminta cerai dari suamiku”. Kemudian aku datang pada Usman dan aku bertanya padanya: “berapa hari masa iddahku.” Jawabnya: “tidak ada iddah atasmu, kecuali jika kamu telah bergaul dengan suamimu. Maka sekarang tunggulah hingga kamu haid sekali. Dalam hal ini aku mengikuti keputusan Rasulullah atas diri Maryam Al Maghalibiyah, yang menjadi istri Tsabit Ibnu Qais Ibnu Syamas, dan kemudian ia meminta diceraikan suaminya.”
III.      Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya
عن زينب بنت ام سلمة قالت امّ حببيبة سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لا يحلّ لامرأة تؤمن بالله واليوم الاخر تحدّ على ميت فوق ثلاثة أيام الا على زوج اربعة اشهر وعشرا
Dari Zainab binti Ummu Salamah dari Ummu Habibah ra. Berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:” tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung atas orang yang mati lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka masa berkabungnya selama empat bulan sepuluh hari.”
IV.      Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya Sebelum Terjadi Senggama
عن عبراهيم عن علقمة عن ابن مسعود انّه سئل عن رجل تزوج امرأة ولم يفرض لها صداقا ولم يدخل بها حتى مات قال ابن مسعود لها مثل صداق نسائها لا وكس ولا شطط وعليها العدة ولها الميرات فقام معقل بن سنان الاشجعي فقال قضى فينا رسول الله ص م فى بروع بنت واشق امرأة منّا مثل ما قضيت ففرح ابن مسعود رضى الله عنه
Dari Ibrahim dari Alqamah berkata: “Ketika Ibnu Mas’ud ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita, kemudian ia mati sebelum memberikan mas kawin pada istrinya dan juga belum bersenggama dengannya. Jawab Ibnu Mas’ud: Istrinya tetap berhak mendapatkan mas kawin, tidak boleh kurang atau lebih, dan atasnya berlaku iddah serta ia berhak mendapat warisan”. Maka berdirilah Ma’qil ibnu Sinan Al Asyja’i dan berkata: “Rasulullah saw telah memutuskan masalah Barwa’ binti Wasyq, sebagaimana yang putuskan. Ia adalah seorang wanita kaum kami.” Karena itu Ibnu Mas’ud menjadi senang.”
B. Pengertian Iddah
Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira. Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :
  1. Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.
  2. Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan “Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
  3. Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan “suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”
  4. Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.”
Selain pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh kawin lagi.
C. Hukum Iddah dan Macam-Macamnya
Para ulama sepakat atas wajibnya iddah bagi seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya. Mereka mendasarkan dengan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228 yang artinya “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Rasulullah juga pernah bersabda kepada Fatimah bin Qais Artinya:  “Beriddahlah kamu di rumah Ummi Kaltsum.”
Macam-macam iddah:
1. Iddah karena cerai mati.
Iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu ada dua keadaan, yaitu : Jika perempuan tersebut hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surah Ath-Thalaq ayat 4. Demikian pula telah disebutkan dalam sebuah Hadits Rasulullah yang artinya :  “Kalau seorang perempuan melahirkan sedang suaminya meninggal belum dikubur, ia boleh bersuami.”  Tetapi jika tidak hamil, maka masa iddahnya empat bulan sepuluh hari. Hal ini sebagaimana disebutkan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 234.
2. Iddah cerai hidup.
Perempuan yang dicerai dalam posisi cerai hidup dalam hal ini ada tiga keadaan yaitu :
1) Dalam keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Ath-Thalaq ayat 4 .
2) Dalam keadaan sudah dewasa (sudah menstruasi) masa iddahnya tiga kali suci. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228.
3)  Dalam keadaan belum dewasa (belum pernah menstruasi) atau sudah putus menstruasi (menopause), iddahnya adalah tiga bulan. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Ath Thalak ayat 4
3. Iddah bagi perempuan yang belum digauli, maka baginya tidak mempunyai masa iddah. Artinya  boleh langsung menikah setelah dicerai oleh suaminya. Perhatikan firman Allah dalam surah Al-Ahzaab ayat 49.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, iddah diistilahkan dengan waktu tunggu. Yang dalam Pasal 153 ayat (2) sampai dengan (6) nya berbunyi :
(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
  1. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
  2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari,  dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
  3. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
  4. Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla dukhul.
(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
(6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.”
D. Eksistensi Iddah Dalam Pernikahan
Sebagaimana pertanyaan yang sering dipertanyakan, kenapa seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya baik karena cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia diwajibkan beriddah, dan kenapa pula harus selama itu masa iddahnya. Adanya iddah itu ada beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut :
Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
  1. Bagi suami merupakan kesempatan/saat berfikir untuk memilih antara rujuk dengan istri; atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
  2. Bagi istri merupakan kesempatan/saat untuk mengetahui keadaan sebenarnya; yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.
  3. Sebagai masa transisi.
Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut:
  1. Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
  2. Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar kekal.
  3. Dalam perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
  4. Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.”
Selain apa yang dikemukakan di atas, adanya iddah itu mempunyai  manfaat sebagai berikut :
1. Iddah dan kehamilan.
Sebenarnya terjadi perbedaan pengertian diantara para ulama tentang batas iddah dengan istilah “quru” ini, ada yang mengartikannya dengan “suci” dan ada pula yang mengartikannya dengan “haid”. Sehingga dengan pengertian yang berbeda itu dapat mengakibatkan perbedaan lama beriddah. Quru dengan pengertian suci akan mengakibatkan masa iddah lebih pendek dari quru dengan pengertian haid.
Diperlukannya iddah bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena cerai mati atau hidup, salah satu manfaatnya adalah untuk mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan. Terjadinya kehamilan ini apabila sperma laki-laki bertemu dan bersama sebuah telur  (ovum) disebabkan adanya hubungan suami istri, sperma laki-laki mampu bertahan selama 48 jam serta telur 24 jam.
Muhammad Ali Akbar menyatakan bahwa “Adakah menakjubkan mendapati puncak differensiasi sel embrio terjadi pada tahap ini (minggu ke-4 hingga ke-8). Periode ini sangat penting karena masing-masing dari tiga lapisan primordium menjadi sejumlah jaringan dan organ spesifik. Longman juga mengatakan “semua organ dan sistem organ utama dibentuk selama minggu keempat hingga kedelapan. Oleh karena itu, periode ini juga disebut periode organogenisis. Itulah saat embrio paling rentan terhadap faktor-faktor yang mengganggu perkembangan dan kebanyakan malformasi kongenital yang terlihat pada waktu lahir didapatkan asalnya selama periode kritis ini.” Artinya menurut pemahaman penulis dalam minggu-minggu keempat dan kedelapan inilah saat-saat embrio terjadi degenerasi atau tidak.
Salah satu indikasi bahwa wanita itu tidak hamil adalah dengan adanya haid atau menstruasi. Menstruasi dimaksudkan dengan “saat seorang wanita mengeluarkan darah pada periode tertentu dalam keadaan sehat wal afiat. Darah tersebut berasal dari lubang uterine.” Dan siklus haid berkisar antara 28 hingga 35 hari. Dengan masa menstruasi berkisar antara tiga hari sampai satu minggu, dalam hal ini tergantung kondisi wanita tersebut.
Adanya prosesi itu dan mampu melewati masa-masa kritis, sekaligus jika dikaitkan dengan masa iddah selama 3 bulan atau tiga kali suci, sehingga dengan masa selama itu dapat dipastikan bahwa rahim seorang perempuan kosong  dari benih kehamilan. Artinya dengan iddah selama itu, maka bisa dipastikan bahwa seorang wanita yang dicerai oleh suaminya, baik karena cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia tidak dalam keadaan hamil, dan hamil akan mengakibatkan kelahiran manusia (anak). “Manusia dibentuk oleh penyatuan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum) membentuk sebuah sel yang disebut zigot. Zigot di dalam Al Qr’an disebut nutfah amsyaj yang terbentuk dari perpaduan dan percampurannutfah jantan dan nutfah betina.” Dengan diketahuinya kekosongan rahim itu, maka status anak yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan setelah akan jelas atau akan memperjelas status ayah bagi janin yang ada pada rahim seorang wanita, yang pada akhirnya akan mempertegas status nasab anak.
Allah berfirman dalam surah Ar-Ra’du  ayat 8 yang artinya : Allah mengetahui apa yang dikandung oleh perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya.
2. Iddah sebagai masa berkabung.
Bagi para wanita yang ditinggal oleh suaminya mati, wajib baginya berkabung. “Para ulama mazhab sepakat atas wajibnya wanita yang ditinggal mati suaminya untuk melakukan (hidad) berkabung, baik itu wanita itu sudah lanjut usia maupun masih kecil, muslimah maupun non muslimah. Kecuali Hanafi, mazhab ini mengatakan bahwa wanita zimmi dan masih kecil tidak harus menjalani hidad sebab mereka tidak dikenai kewajiban (gairu taklif).
Islam membatasi masa berkabung atau meratapi atas meninggalnya seseorang. Bagi orang lain selain istri atau suami masa berkabung dibolehkan hanya 3 hari,  namun bagi istri batas maksimal adalah 4 bulan sepuluh hari.
Dalam agama Hindu lebih panjang lagi, sebagaimana disebutkan, “Dalam agama seperti agama Hindu dan Jainisme. Janda tidak diizinkan menikah lagi, sekalipun andaikan suaminya tak lama setelah perkawinannya, dia harus tetap menjanda sepanjang hayatnya, menanggung celaan dari mertua dan iparnya. Pertama-tama dia dianggap bertanggungjawab atas kematian suaminya. Diyakini dia yang menimbulkan penyakit yang menimbulkan suaminya meninggal.”
Karena masa berkabung sekaligus dijadikan sebagai masa iddah selama empat bulan sepuluh hari itu, untuk ukuran orang-orang  tertentu cukup lama. Karena secara naluriah, manusia senantiasa membutuhkan lawan jenisnya untuk selalu bersama. Begitu pula wanita normal tentunya membutuhkan lawan jenisnya untuk mendapatkan perlindungan dari laki-laki, karena wanita dianggap sebagai makhluk yang lemah, selain itu juga wanita memerlukan pemenuhan kebutuhan biologis dari lawan jenisnya, dan itu hanya bisa didapatkan jika ia melakukan pernikahan kembali, begitu pula wanita tersebut dapat menentukan arah kehidupannya serta tidak ingin larut dalam kedukaan yang berkepanjangan. Sehingga wajar jika ia diberi kesempatan untuk menikah lagi demi masa depannya. Begitu juga terhadap kehidupan anak-anak yang ditinggalkan oleh bapaknya meninggal dunia, juga memerlukan perlindungan, pengayoman, pendidikan ataupun juga bantuan yang mungkin dapat diperoleh dari suami ibunya yang baru.
3. Iddah sebagai saat strategis bagi pihak-pihak dan saat berpikir yang baik untuk dapat rujuk kembali.
Apabila seseorang bercerai dengan suami atau istrinya, maka ia akan merasakan adanya berbagai perubahan dalam kebiasaan hidupnya. Sebelumnya seorang laki-laki senantiasa dilayani, tetapi ketika ia berpisah dengan istrinya, kebiasaan-kebiasaan itu tidak didapatkan atau ditemukannya lagi, begitu pula bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya. Sehingga saat-saat inilah yang dapat digunakan untuk berpikir keras, menimbang-nimbang buruk baiknya bercerai itu.
Seorang janda dapat lebih leluasa menyatakan kemauannya untuk bisa kawin lagi, karena dalam hal ini janda lebih berhak atas dirinya sendiri
Terhadap adanya perceraian, janda juga perlu memikirkan positif dan negatifnya rujuk kembali. Baik pengaruhnya  terhadap dirinya sendiri, anak-anak, keluarga, kerabat, handai-taulan, dan lain-lain. Dampak negatif tentunya  perlu ditekan semaksimal mungkin.
Adanya iddah merupakan kesempatan untuk berpikir lebih jauh, serta diharapkan dengan masa itu, pasangan suami istri yang bercerai akan menemukan jalan yang terbaik untuk kehidupan mereka selanjutnya.
Terhadap pihak ketiga yang berkepentingan dengan kelanggengan pasangan suami istri itu, juga masih mempunyai waktu atau kesempatan untuk melakukan intervensi, memberikan nasehat-nasehat atau saran agar rumah tangga suami istri itu bisa rukun kembali sebagaimana sediakala dengan memberikan alternatif yang dapat menggugah suami istri yang bercerai itu agar bisa rukun kembali. Nasehat yang demikian sangat dianjurkan dalam Islam. Perhatikan firman Allah dalam surah Al-Ashr ayat 3.
4. Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah.
Selain tujuan-tujuan iddah sebagaimana diungkapkan diatas, pelaksanaan beriddah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan kewajiban bagi  wanita muslim untuk mentaatinya.
Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup atau mati. Disana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi dengan laki-laki lain. Kemauan untuk mentaati  aturan beriddah inilah yang merupakan gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat beriddah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati dan berdosa bila dilangar  dari Allah SWT.

PENUTUP
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa:
  1. Iddah merupakan batas menunggu bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena cerai mati atau tidak untuk bisa bersuami lagi.
  2. Lamanya iddah bagi wanita yang bercerai dengan suaminya, yaitu :  Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid atau kurang lebih tiga bulan, Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (manoupuse) = tiga bulan.dan Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
  3. Manfaat dari adanya iddah diantaranya adalah untuk:
    1. Mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan;
    2. Gambaran nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah dan rasulNya.
    3. Lamanya batas boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya;
    4. Tenggang waktu berfikir tentang positif atau negatifnya untuk rujuk kembali atau meneruskan perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai, dan  ;
    5. Sebagai ujian terhadap kesabaran.
  4. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kedokteran, komunikasi  serta transportasi, maka masa iddah masih memungkinkan untuk didiskusikan menuju masa iddah kearah yang lebih singkat lagi.
»»  READMORE...

Kamis, 21 Maret 2013

BACAAN TAHLIL


BACAAN TAHLIL



إلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْفَاتِحَةْ



ثُمَّ إلَى حَضْرَةِ إِخْوَانِهِ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَاْلأَوْلِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ 

وَاْلعُلَمَاءِ وَاْلمُصَنِّفِيْنَ وَجَمِيْعِ اْلمَلاَئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ اَلْفَاتِحَةْ



ثُمَّ إليَ جَمِيْعِ أَهْلِ اْلقُبُوْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ اْلاَرْضِ وَمَغَارِبِهَا 

بَرِّهَا وَبَحْرِهَا خُصُوْصًا اَبَاءَنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَأَجْدَادَنَا وَجَدَّاتِنَا وَمَشَايِخَنَا مَشَايِخِنَا


وَلِمَنِ اجْتَمَعْنَا هَهُنَا بِسَبَبِهِ وَخُصُوْصًا......... اَلْفَاتِحَةْ




سْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَد

لاَ إِلهَ إِلَّا اللهُ اَللهُ أَكْبَرْ وَلِلّهِ اْلحَمْدُ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ * مِن شَرِّ مَا خَلَقَ * وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ *
وَمِن شَرِّ النَّفَّـثَـتِ فِى الْعُقَدِ * وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

لاَ إِلهَ إِلَّا اللهُ اَللهُ أَكْبَرْ وَلِلّهِ اْلحَمْدُ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

لاَ إِلهَ إِلَّا اللهُ اَللهُ أَكْبَرْ وَلِلّهِ اْلحَمْدُ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّين أمِينْ


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. الم ذَلِكَ اْلكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ. اَلَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ.وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْاخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ. اُولئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَاُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ. وَإِلهُكُمْ إِلهُ وَاحِدٌ لاَإِلهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمنُ الرَّحِيْمُ اللهُ لاَ إِلَهَ اِلاَّ هُوَ اْلحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَتَأْخُذُه سِنَةٌ وَلاَنَوْمٌ. لَهُ مَافِى السَّمَاوَاتِ وَمَافِى اْلأَرْضِ مَنْ ذَالَّذِى يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَيُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلاَ يَؤدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ. لِلّهِ مَافِى السَّمَاوَاتِ وَمَا في اْلأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوْا مَافِى أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوْهُ
يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهِ فَيُغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ. وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. امَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا أُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَبَّهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ. كُلٌّ امَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَنُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ. لاَيُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَتُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَ أَوْ أَخْطَعْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَطَاقَةَ لَنَا بِهِ



وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا 7
أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
إِرْحَمْنَا يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 7

أللّهمّ اصْرِفْ عَنَّا السُّوْءَ بِمَا شِئْتَ وَكَيْفَ شِئْتَ إِنَّكَ عَلَى مَاتَشَاءُ قَدِيْرُ 3

وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا. إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِي يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَا


أَللّهُمَّ صَلِّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ نُوْرِ الْهُدَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدْ. عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ. وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.

أَللّهُمَّ صَلِّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ شَمْسِ الضُّحَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدْعَدَدَ
مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ. وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ

أَللّهُمَّ صَلِّ أَفْضَلَ*الصَّلاَةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ بَدْرِ الدُّجَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدْ. عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ. وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.

وَسَلِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْ سَادَتِنَا أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ. وَحَسْبُنَا الله وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ. وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْم 3

أَفْضَلُ الذِّكْرِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ حَيٌّ مَوْجُوْدٌ لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ حَيٌّ مَعْبُوْدٌ لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ حَيٌّ بَاقٍ ,

 لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ 100

لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله
أَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدْ أَللّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ
أَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدْ يَارَبِّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ

سَبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ 33
أَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى حَبِيْبِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدْ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
أَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى حَبِيْبِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدْ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ
أَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى حَبِيْبِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدْ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ أَجْمَعِيْنَ. الفاتحة

Doa Bebas, sesuai tujuan, Sumonggo





أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمن الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ. أَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ فِى اْلأَوَّلِيْنَ وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ فِى اْلأخِرِيْنَ وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ فِى كُلِّ وَقْتٍ وَحِيْنٍ وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ فِى اْلمَلَإِ اْلأَعْلَى إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . أَللّهُمَّ اجْعَلْ وَأَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ مِنَ اْلقُرْأنِ الْعَظِيْمِ . وَمَا هَلَّلْنَاهُ مِنْ قَوْلِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَقَوْلِ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ وَمَا صَلَّيْنَاهُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فِى هذَااْلمَجْلِسِ اْلمُبَارَكِ هَدِيَّةً وَاصِلَةً إِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِناَ وَنَبِيِّناَ وَمَوْلَناَ مُحَمَّدٍ ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ أباَئِهِ وَإِخْوَانِهِ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَأَلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ أَجْمَعِيْنَ
وَاْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَالأَئِمَّةِ اْلمُجْتَهِدِيْنَ وَاْلعُلَمَاءِ اْلعَامِلِيْنَ وَأَهْلِ طَاعَتِكَ أَجْمَعِيْنَ . وَخُصُوْصًا إِلى رُوْحِ ( فُلَانْ إِبْنُ فُلَانْ ) أَللّهُمَّ اجْعَلْهُ فِدَاءً لَهُ مِنَ النَّارِ وَفِكَاكاً لَهُمْ مِنَ النَّارِ . أَللّهُمَّ اغْفِرْلَهُمْ وَعَافِهِمْ وَاعْفُ عَنْهُمْ وَوَالِدِيْنَا وَوَالِدِيْهِمْ وَلِجَمِيْعِ اْلمُسْلِمِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . أَللّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلَامَ وَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَأَهْلِكِ اْلكَفَرَةَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ , وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إِلى يَوْمِ الدِّيْنِ , أَللّهُمَّ أَمِنَّا فِىْ دُوْرِنَا , وَأَصْلِحْ وَلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلِ اللّهُمَّ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَ وَاتَّقَاكَ . أَللّهُمَّ انْصُرْ سُلْطَانَنَا سُلْطَانَ اْلمُسْلِمِيْنَ , وَانْصُرْ وُزَرَاءَهُ وَوُكَلاَءَهُ وَعَسَاكِرَهُ وَعُلَمَاءَهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. وَاكْتُبِ السَّلاَمَةَ وَاْلعَافِيَةَ عَلَيْنَا وَعَلَى اْلحُجَّاجِ
وَاْلغُزَاةِ وَاْلمُسَافِرِيْنَ وَاْلمُقِيْمِيْنَ فِى إِنْدُوْنَيْسِيَّا وَغَيْرِهِمْ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَألِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَاْلحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
أمين
»»  READMORE...

DO,A SUJUD SAHWI


Bacaan Sujud Sahwi

Bacaan ketika sujud :
سبحان الذي لا ينام ولا يسهو
Bacaan rumi : Subhanallazi la yanamu wa la yashu

Bacaan ketika duduk :
رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين
Bacaan rumi : Robbi fir warham wa anta khairur rahimin



7 perkara yang menyebabkan kita kena sujud sahwi
Sunat ab'adh adalah sunat yang dikuatkan dan andainya terlupa mengerjakannya di dalam solat, maka disunatkan sujud sahwi. Sunat ab'adh ini ada tujuh (7) :
1.Tahyat awal
2.Selawat di dalam tahyat awal
3.Duduk tahyat
4.Doa qunut waktu subuh dan pada solat witir malam 15 ramadhan
5.Selawat dalam qunut
6.Berdiri semasa qunut
7.Membaca selawat ke atas keluarga Nabi pada masa tahyat akhir
Sumber : Panduan Fardhu Ain karangan Ustaz Ismail Kamus 
»»  READMORE...

Posisi Imam dan Makmum Dalam Sholat Berjama'ah


Posisi Imam dan Makmum Dalam Sholat Berjama'ah

Berikut ini ilustrasi posisi Imam dan Makmum dalam Sholat Berjama'ah:


Berikut posisi selengkapnya (Uraian dari gambar):
Gambar 1. Dua Orang Laki-laki
Hadits Ibnu Abbas:
Aku shalat bersama Nabi SAW di suatu malam, aku berdiri di samping kirinya, lalu Nabi memegang bagian belakang kepalaku dan menempatkan aku di sebelah kanannya (HR Bukhari )

Gambar 2. Dua Orang Laki-laki atau Lebih
Hadits Jabir:
Nabi SAW berdiri shalat maghrib, lalu aku datang dan berdiri di samping kirinya. Maka beliau SAW menarik diriku dan dijadikan di samping kanannya. Tiba-tiba sahabatku datang (untuk shalat), lalu kami berbaris di belakang beliau dan shalat bersama Rasulullah SAW. (HR Ahmad)

Gambar 3. Satu Laki-laki dan Satu Wanita
Hadits Anas:
Bahwa beliau shalat di belakang Rasulullah SAW bersama seorang yatim sedangkan Ummu Sulaim berada di belakang mereka (HR Bukhari dan Muslim)

Gambar 4. Dua Orang Laki-laki dan Satu Wanita atau lebih
Perpaduan antara hadits Ibnu Abbas:
“.. dan menempatkan aku di sebelah kanannya”dan hadits Anas bin Malik:
“Sedangkan Ummu Sulaim berada di belakang mereka” (HR Bukhari dan Muslim)

Gambar 5. Dua Orang Wanita
Keumuman Hadits Ibnu Abbas:
“.. dan menempatkan aku di sebelah kanannya” (HR Bukhari)

Gambar 6. Tiga Orang Wanita atau Lebih
Hadits Aisya RA:
Bahwa Aisyah shalat menjadi imam bagi kaum wanita dan beliau berdiri di tengah shaf (HR Bukhari, Hakim, Daruquthni dan Ibnu abi Syaibah)

Gambar 7. Beberapa Laki-laki dan Wanita
Hadits Abu Hurairah:
Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yang paling pertama, dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah yang paling terakhir, dan seburuk-buruknya adalah yang paling pertama. (HR Muslim)

Gambar 8. Bila ada Anak-anak
Hadits Abu Malik Al-Asy’ari:
Bahwa Nabi SAW menjadikan (shaf) laki-laki di depan anak-anak, anak-anak di belakang mereka sedangkan kaum wanita di belakang anak-anak (HR Ahmad)

Gambar 9. Merapatkan Barisan
Hadits Nu’man bin Basyir:
Dan aku melihat semua laki-laki yang shalat saling mendekatkan antara pundak dengan pundak lainnya dan mata kaki dengan mata kaki lainnya (HR Bukhari )
»»  READMORE...

SHALAT TAHIYAT MASJID


Shalat Tahiyat Masjid

Shalat tahiyat masjid adalah shalat 2 rakaat yang dikerjakan ketika masuk ke mesjid sebagai penghormatan kepada mesjid, karena mesjid termasuk "Baitullah (rumah Allah).

Hal ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam kata 'Tahiyyatul masjid', yaitu "Penghormatan terhadap mesjid". Shalat tahiyat masjid hukumnya sunat, dan dikerjakan sebelum duduk, baik hari Jum'at maupun hari lainnya, siang maupun malam hari, walaupun pada waktu - waktu terlarang (jika masuk ke mesjid karena suatu sebab, misalnya hendak beri'tikaf, menuntut ilmu, atau menunggu tibanya waktu shalat dan sebagainya.

Seseorang yang hendak pergi ke mesjid, baik pada hari Jum'at maupun hari lainnya, dalam perjalanan hendaklah membaca doa berikut:
ALLAAHUMMA BIHAQQIS SAA'ILIINA 'ALAIKA WA BIHAQQIR RAAGHIBIINA ILAIKA WA BIHAQQI MAMSYAAYA HAADZAA ILAIKA. FA INNII LAM AKHRUJ ASYIRAN WA LAA BATHARAN WA LAA RIYAA'AN WA LAASUM'ATAN BALKHARAJTU ITTIQAA'A SAKHATHIKA WABTTIGHAA'A MARDHAATIKA. FA AS'ALUKA ANTUN QIDZANNII MINANNAARIWA ANTAGHFIRALII DZUNUUBII FAINNAHUU LAA YAGHFIRUDZDZUNUUBA ILLAAANTA.
Artinya:
"Wahai Allah! Berkat kebenaran orang - orang yang memohon kepada-mu, berkat kebenaran orang-orang yang cinta kepada-Mu, dan berkat kebenaran perjalananku ini menuju kepada-Mu, maka sesungguhnya aku keluar bukan kejahatan bukan karena keangkuhan, bukan karena ria, bukan pula karma sum'ah, tetapi aku keluar karena takut akan kemurkaan-Mu, dan mengharapkan ridha-Mu. Oleh karena itu aku memohon kepada-Mu agar Engkau selamatkan aku dari neraka, dan Engkau ampUni aku, segala dosaku, karena sesungguhnya takada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau."

Jika hendak memasuki mesjid, maka dahulukan kaki kanan dan bacalah doa:
ALLAAHUMMA SHALLI 'ALAA MUHAMMAD WA 'ALAA AALI MUHAMMAD WA SHAHBIHI WA SALLIM. ALLAAHUMMAGHFIRLII DZUNUUBII WAF TAHLII ABWAABA RAHMATIKA.
Artinya:
"Wahai Allah! Berilah rahmat dan kesejateraan kepada Nabi Muhammad, keluarganya dan sahabatnya. Wahai Allah! Ampunilah segala dosaku, dan bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatmu.

Jika telah berada di dalam mesjid, sebelum duduk, hendaklah niat beri'tikaf dan dilanjutkan dengan mengerjakan shalat sunat tahiyat masjid 2 rakaat.
Niat i'tikaf adalah:
NAWAITU ANA'TAKIFA FII HAADZAL MASJIDI SUNNATAN LILLAAHI TA'AALAA.
Artinya: (di dalam hati)
"Aku niat beri'tikaf didalam mesjid ini, sunat karena Allah ta'ala."

Niat shalat sunat tahiyat masjid adalah:
USHALLII SUNNATA TAHIYYATIL MASJIDI RAK'ATAINI LILLAAHI TA'AALAA.
Artinya: (di dalam hati pada saat takbiratul ihram!)
"Aku (niat) shalat sunat tahiyat masjid 2 rakaat, karena Allah Ta'ala."

Jika pada saat tiba di mesjid shalat Jum'at atau shalat berjamaah telah dimulai, maka shalat tahiyat masjid tak perLu dikerjakan.
Akan tetapi jika khatib sedang khutbah, maka boleh mengerjakannya dengan meringankan bacaan. Jika telah telanjur duduk, maka tak periu bangun untuk mengerjakannya.

Kemudian ketika hendak keluar dari mesjid, dahulukan kaki kiri dan bacalah doa:
ALLAAHUMMA SHALLI 'ALAA MUHAMMAD WA'ALAA AALI MUHAMMAD WA SHAHBIHI WA SALLIM. ALLAAHUMMAGHFIRLII DZUNUUBII WAFTAHLII ABWAABA FADHLIKA. ALLAAHUMMA'SHIMNII MINASY SYATTHAANIR RAJIIMI.
Artinya:
"Wahai Allah! Berilah rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad, keluarganya dan sahabatnya. Wahai Allah! Ampunilah segala dosaku, dan bukakanlah untukku pintu-pintu keutamaan (kemurahan)-Mu. Wahai Allah! Lindungilah aku dari setan yang terkutuk.
»»  READMORE...

Sabtu, 09 Maret 2013

SYARAT KEWAJIBAN SHOLAT JUM,AT



Tanbihun.com — ALLAH mewajibkan kepada hamba-Nya yang mukmin supaya melaksanakan fardlu solat Jum’at,13) manakala sudah terhimpun syarat-syaratnya yang (secara teknis)
sudah diatur oleh para ulama mujtahid Muthlaq Fuqaha14)  di dalam kitab karangannya.
Syarat-syarat kewajiban shalat Jum’at sebanyak tujuh perkara ialah:
Pertama, yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang beragama islam15). Tidak diwajibkan shalat Jum’at bagi orang kafir asli,16) tetapi
kelak disiksa di akhirat, karena meninggalkan kewajib-an shalat Jum’at, yakni meninggalkan Islam.17)
Kedua, yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang telah berusia baligh.18) Tidak diwajibkan shalat Jum’at bagi anak-anak, tetapi wali atau penggantinya berkewajiban mendidik terhadap anak-anak tentang tata cara shalat Jum’at dan meme-rintahkan kepadanya supaya melaksanakan shalat tersebut.19)
Ketiga, yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang berakal. Tidak diwajibkan shalat Jum’at bagi orang yang akalnya hilang, seperti karena gila, atau sebab lain yang tidak disengaja.20)
Keempat, yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at ialah orang laki-laki. Tidak diwajibkan shalat Jum’at atas orang perempuan.21)
Kelima, yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang sehat jasmani dan rohani, lahir dan batin.22) Tidak diwajibkan shalat Jum’at atas orang yang sedang sakit (sebanding dengan kemudahan dalam meninggalkan shalat jama’ah lima waktu).
Keenam, yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang statusnya merdeka. Tidak diwajibkan atas orang yang statusnya hamba sahaya (abdun mamluk).
Ketujuh, yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang mukim. Mukim berarti seseorang bermaksud menginap di tempat kewajiban shalat Jum’at selama 4 hari 4 malam, atau karena suatu sebab hingga ia tinggal di tempat tersebut selama 4 hari 4 malam,23) walaupun tidak ada tujuan untuk itu. Tidak wajib shalat Jum’at atas orang bepergian (musafir).

13) Allah berfirman :
يايّهاالذين أمنوااذا نودي للصّلاة من يوم الجمعة فاسعوااليذكرالله وذروالبيع ذ لكم خيرلّكم ان كنتم تعلمون (الجمعه:9).
“Hai orang-orang mukmin, apabila diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan meninggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (Q.S. al-Jumu’ah: 9).
الجمعة حق واجب علي كل مسلم في جماعة الا اربعة: عبدمملوك اوامرأة او صبي اومريض (رواه ابو داود).
Raulullah bersabda: “bahwa shalat Jum’at itu hak dan wajib atas setiap muslim dengan berjamaah, kecuali empat: hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang sakit”. (H.R. Abu Dawud).
صلاة الجمعة هي فرض عين عنذ إجتماع شرائطها (فتح المعين : 39)
Zainuddin al-Malibari berkata: “Bahwa shalat Jum’at itu ialah fardlu ain ketika sudah terhimpun syarat-syaratnya (Fath al-Muin: 39).
14) Mujtahid Muthlaq Fuqaha yang termashur ialah Imam Abu Hanifah (80-150 H.), Imam Malik bin Anas (95-179 H.), Imam Syafi’i (150-204 H.), dan Imam Ahmad Bin Hambal (164-241 H.). Adapun imam yang kurang masyhur ialah Imam Hasan Bashri (21-110 H.), Imam Sufyan Tsauri (97-121 H.), Imam Dawud Dhahiri dan Imam Ibrahim bin Yazid an- Nakha’i (Asn al-Maqashid: I/249).
15) Yang dimaksud Islam di sini  ialah membaca dua kalimat syahadat merupakan rukun yang pokok (aqidah) di dalam Islam. Orang kafir asli atau murtad, jika mengucapkan dua kalimat syahadat sudah menjadi Islam. Dan apabila percaya dalam hati atas makna dua kalimat syahadat itu, maka ia sebagai orang mukmin dan adapun shalat, zakat, pula dan haji merupakan rukun kewajiban untuk menyempurnakan status keislaman seseorang. (lihat: Tafsir Jalalain: I/75, Marah Labid: I/167-168, Al-Wajiz:I/168, As-Shawi:III/230, 270,Tanwirul Miqbas:I/376, Al-Manar:V/348. Thanthawi:III/68, Al-Bajuri: II/266, Ibanatul Ahkam: III/282, Riyadhus Shalihin: 63, Taqrir: II/250, Al-Iqna’: II/250, Sulaiman Jamal:V/190, Al-Bajuri:II/391,392, Tuhfatul Murid: 22, Al-Ajhuri: 29, Sanusi: 52-53, Dalilul Falihin: IV/217-218, Fathul Mu’in: 128, Sulamut Taufiq: 3, Tanqihul Qaul: 25, Jauharatut tauhid: 129,Irsyadus Sari: I/146, Sulamul Munajah: 4, Irsyadul ‘Ibad: 3, Bughyatul Mustarsyidin: 297, Al-Mathari: 23, Ghayatul Bayan: 60, Ats-Simarulyani’ah: 3, Muhadzab: II/323, Nihayatuz Zain: 245 dan beberapa kitab lainnya.
16) Artinya orang yang memang berasal kafir atau keturunan dari orang kafir yang sama sekali belum pernah mengucap dua kalimah syahadah.
17) Syaikh Ahmad Rifa’i, Riayatul Himmah, Jilid I, Hal. 158 dan 212.
18) Berusia 15 tahun, bermimpi keluar mani setelah usia 9 tahun, keluar rambut atau bulu kemaluan (lelaki dan perempuan), keluar darah haid setelah usia 9 tahun (khusus perempuan). (Kasyifatu Syaja’: 16).
19) Firman Allah: “Dan perintahkanlah keluargamu mendiri-kan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Surat Thoha: 132).
20) Apabila seseorang sengaja menghilangkan akalnya, maka ia berkwajiban shalat, tetapi tidak sah, karena diantara syarat-syarat sahnya shalat, adalah harus berakal pula.
21) Apabila orang perempuan mengerjakan shalat Jum’at dengan baik dan benar, maka memadailah dan dia tidak diwajib-kan mengulangi (mua’dah) shalat dhuhur.
22) Ialah penyakit tekanan mental, misalnya takut karena diancam akan dipermalukan, baik ketika di masjid atau ditengah perjalanan menuju ke tempat shalat Jum’at itu.
23) Syamsudin Ar-Ramli, Ghayatul Bayan Syarh Matan Ibn Ruslan, Maktabah Arafah, Bogor, hal. 138
»»  READMORE...

HUKUM SOLAT QODHO

 Dari bermacam-macam solat, kita pasti tidak asing dengan yang namanya solat qodho,dan solat  qodho hukumnya wajib sebagaimana wajibnya melakukan sholat ada’. Shalat qodho ialah : Melakukan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, untuk menggantikan shalat wajib harian yang tertinggal. Shalat ada’ ialah : Melakukan shalat wajib harian tepat menurut waktu yang telah ditentukan.
Pengertian qodho hanya berlaku bagi shalat-shalat harian (5 waktu). Sedang untuk shalat wajib lainnya, seperti shalat Jum’at, Ied (hari raya, baik ghodir, fitri dan adhha), Ayat dan sebagainya, tidak ada kewajiban untuk meng-qodhonya saat tertinggalkan, kecuali untuk gerhana matahari dan gerhana bulan yang total, walaupun diharuskan untuk melakukannya di luar waktu (qodho gerhana yang total), saat melakukannya tidak diharuskan dengan niat qodho, cukup dengan niat melakukan shalat.
Kewajiban qodho ini dibebankan pada setiap orang, baik dengan sengaja dia meninggalkan shalat atau tidak, dia mengerti hukum keharusannya atau tidak, dalam keadaan tidur atau terbangun, bepergian atau di rumah, dan lain sebagainya. Sebagaimana bunyi dalil berikut :
Imam Bagir a.s. ditanya tentang seseorang melakukan shalat dalam keadaan hadas (belum bersuci), atau shalat yang terlewatkan olehnya karena lupa atau tertidur dan belum ia lakukan ? Dijawab oleh beliau : “Wajib baginya untuk mengqodho shalat yang tertinggal kapan saja ia mengingatnya, baik malam maupun siang. Tetapi apabila (timbulnya ingatan) masuk pada waktu shalat berikutnya, dan belum menyelesaikan (melakukan) shalat yang tertinggalkan olehnya, maka lakukan shalat qodho asalkan tidak takut akan habisnya pemilik waktu, karena pemilik waktu lebih berhak untuk dilaksanakan terlebih dahulu daripada shalat qodho. Seusai melakukan (shalat) pemilik waktu, lakukanlah shalat yang tertinggal, dilarang melakukan shalat nafilah walaupun satu rakaat, sebelum tanggungan kewajibannya diselesaikan secara keseluruhan. [Al-Wasail, juz 4, hal. 248.]
Kewajiban qodho ditetapkan dan dipikulkan pada pundak mereka yang memiliki kewajiban ada’, dan kewajiban qodho jatuh dengan jatuhnya kewajiban ada’. Kurang warasnya akal, anak-anak (mereka yang belum menanggung kewajiban), kekufuran, hilangnya kesadaran diri yang tidak disengaja dan lain sebagainya, atau karena keluarnya darah haid, nifas (sehabis melahirkan), pada semua keadaan tersebut tidak wajib qodho (karena kewajiban ada’ terangkat dari mereka), sampai kewajiban ada’ terpikulkan kembali ke pundak mereka (dengan pulihnya keadaan).
Tiga perkara yang menyebabkan hilangnya kewajiban qodho :
1. Melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya.
2. Meninggalnya seseorang sebelum masuknya waktu sholat.
3. Kekufuran, kecuali bagi yang murtad kemudian bertaubat kembali.
Ada dua kesimpulan setelah melakukan shalat qodho : *)
Pertama, bagi mereka yang shalatnya (atau kewajiban-kewajiban lain) tertinggal karena lupa (atau karena alasan-alasan lain yang menafikan kewajiban ada’) tidak dianggap berdosa setelah mereka mengqodho’ kewajiban-kewajiban tadi, karena saat mereka lupa kewajiban ditangguhkan sampai mereka ingat atau dengan hilangnya alasan-alasan tadi.
Kedua, bagi mereka yang meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut secara sengaja, tetap mendapat dosa walaupun mereka telah ganti dengan mengqodhonya, karena mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka.
*) Harus tertib saat mengqodho shalat yang tertinggal secara berurutan dan tidak terlewatkan sampai hari berikutnya. Contohnya : Jika yang tertinggal adalah shalat Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, kemudian ingat setelah masuknya waktu Isya, atau yang tertinggal hanya shalat Dhuhur dan Ashar, dan ingatnya setelah masuk waktu Maghrib, atau yang tertinggal adalah shalat yang jenisnya sama (tiga kali shalat Subuh saja misalnya) di hari yang berbeda-beda, maka shalat Subuh walaupun qodho lebih didahulukan dari pada shalat Dhuhur yang ada’, karena keberadaan shalat Subuh lebih dahulu dari pada shalat Dhuhur, walaupun harinya telah lewat
»»  READMORE...

TENTANG PERNIKAHAN,RUKUN,SYARAT DAN HUKUMNYA


Bahwa rukun nikah ada lima perkara:
1.      Pengantin lelaki (zauj)
2.      Pengantin perempuan (zaujah)
3.      Wali pengantin perempuan
4.      Dua orang saksi (Syahidami ‘adilaini)
5.      Ijab dan Qabul (Shighat) (Al Iqna’ fi Hali Alfadli Abi Syja’: II/122).

Pasal 24 Syarat-Syarat Pengantin Lelaki
Bahwa syarat-syarat pengantin lelaki ada lima perkara:
1.      Berumur baligh, bila masih kecil, maka bapak atau kakek qabulnya.
2.      Berakal, bila hilang akalnya, maka bapak qabulnya.
3.      Tidak senasab atau sesusuan (radla) dengan pengantin wanita
4.      Dengan kehendak sendiri (ikhtiar). Tidak sah bila dipaksa.
5.      Menentukan dan mengetahui nama wanita yang akan dinikahi, mengetahui akan status calon istrinya, perawan atau janda dan sudah lepas ‘iddah.

Pasal 25 Syarat-Syarat Pengantin Wanita
Syarat-syarat pengantin wanita sama dengan syarat-syarat pengantin lelaki:
1.      Berusia baligh
2.      Berakal
3.      Tidak Senasab dan tidak Sesusuan dengan pengantin lelaki
4.      Kehendak sendiri, tanpa adanya paksaan selain wali mujbir bapak/kakek
5.      Mengetahui lelaki yang akan menikahi dirinya.

Pasal 26 Wali Ada Dua Macam
Bahwa wali yang akan menikahkan seorang wanita ada dua macam:
1.      Wali Mujbir ialah: seorang wali yang boleh menikahkan orang wanita dengan cara memaksa meskipun ia tidak rela
2.      Wali bukan Mujbir ialah selain wali Mujbir.

Pasal 27 Syarat-Syarat Wali Mujbir
Adapun syarat-syarat Wali Mujbir sebanyak ada enam perkara:
1.      Bapaknya, kakeknya atau tuan hambanya yang menjadi Wali Mujbir. Adapun saudara dan pamannya bukanlah Wali Mujbir.
2.      Status pengantin harus gadis perawan walaupun usia baligh.
3.      Seorang lelaki yang adil, terkenal orang yang dapat dipercaya.
4.      Dinikahkan kepada kufunya (lihat pasal kufu).
5.      dinikahkan kepada seorang lelaki yang bukan musuh dengan anaknya.
6.      Harus dengan Mahar Mutsil dan pengantin lelaki sanggup membayarnya.

Pasal 28 Tentang Wali Wanita Janda (Syayyibah)
Wali Mujbir berhak menikahkan seorang wanita bila statusnya belum baligh dan lagi perawan bukan janda. Tetapi kalau wanita tersebut ternyata janda, maka ayah dan kakeknya tidak berhak menikahkannya, baik izin maupun tidak, sama saja tidak sah. Apabila janda tersebut sudah baligh, maka sahlah menikahkannya dengan syarat izin dari padanya, karena janda yang belum baligh apa yang diucapkan tidak dapat dipercaya.


HUKUM DAN PELAKSANAAN NIKAH
Oleh: KH. Ahmad Syadzirin Amin
Definisi Nikah

Arti Nikah Menurut bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut istilah Ahli Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang di atur oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.
Hukum Nikah

Hukum nikah menurut asalnya (taklifiyah) adalah mubah. Yakni tidak mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
Nikah menurut majasi (wadl’iyah) ada empat kemungkinan:
1.      Kemungkinan bisa menjadi Sunnah bila Nikah menjadikan sebab ketengan dalam beribadah. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
2.      Kemungkinan bisa menjadi wajib bila Nikah menghindarkan dari perbuatan zina dan dapat meningkatkan amal ibadah wajib. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
3.      Kemungkinan bisa menjadi haram bila nikah yakin akan menimbulkan kerusakan. Mendapat ancaman siksa bagi orang yang mengerjakan dan dan mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan.
4.      Kemungkinan bisa menjadi makruh karena berlainan kufu. Mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan dan tidak mendapat ancaman bagi orang yang mengerjakan.
Pelaksanaan Nikah

Menurut hukum Islam, praktik Nikah ada tiga perkara:
1.      Nikah yang sah ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar menurut tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, dan mengetahui ilmunya. Nikah seperti ini mendapat pahala dari Allah SWT.
2.      Nikah yang sah tetapi haram ialah: Pelaksanaan akad nikah secara benar sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan tetapi tidak mengetahui ilmunya. Praktik nikah seperti ini jelas berdosa.
3.      Nikah yang tidak sah dan haram ialah: Pelaksanaan akad nikah yang tidak sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, karena tidak mengetahui ilmunya dan praktiknya juga salah. Selain tidak benar praktik nikah seperti ini mengakibatkan berdosa.
»»  READMORE...